Mahar Pernikahan Aceh; Simbol Kehormatan dan Muruah Keluarga

(Foto: dok pernikahan Aulia Nur dan Mutia Balkis)

AV-Banda Aceh: “Keputusan menentukan mahar diserahkan kepada kami,” kata Syahril, 25, pemuda asal Kabupaten Bireuen, Aceh, yang baru saja melamar pujaan hatinya Lesi Otiss, 22. Pria beruntung itu akan segera menikahi Lesi yang berprofesi sebagai polisi wanita dalam waktu dekat ini.

Saat ini, Syahril sedang menimbang-nimbang berapa besarnya mayam, mahar pernikahan dalam adat Aceh yang akan diberikan pada sang pujaan hati.

“Biasanya, mahar di Bireuen bisa berkisar antara 15 hingga 20 mayam. Mahar saya nanti di bawah 20 mayam,” lanjut pria yang berprofesi video jurnalis di Aceh itu kepada Media Indonesia, beberapa waktu lalu.

Jumlah mayam yang dijadikan mahar memang tidak memiliki ketentuan khusus, bergantung dari pihak wanitanya sendiri atau kesepakatan keduanya. Sejumlah faktor yang menentukan besarnya mayam ialah kecantikan, pendidikan, keturunan, dan kesepakatan lain dari pihak keluarga perempuan.

Mayam sendiri merujuk kepada semacam takaran emas yang berlaku di masyarakat Aceh. Kalau dikonversikan dengan gram, satu mayam setara dengan 3,33 gram emas murni. Jadi, kalau Syahril menjanjikan mahar 20 mayam, ia harus menyerahkan 66,6 gram emas murni. Jika dikonversikan dengan harga emas saat ini sebesar Rp600 ribu/gram, itu setara dengan Rp39,96 juta.

Begitu juga dengan Aulia Nur, 27, yang juga akan mempersunting Mutia Balkis, 22. Aulia telah berkomitmen untuk memberikan mahar 22 mayam atau setara dengan 73,26 gram emas murni atau Rp43,95 juta.

“Status pendidikan dan status keluarga cukup berpengaruh di Aceh, tetapi kembali lagi ke kita. Sanggup atau tidak? Dan mahar ini telah kami tentukan berdua juga,” ungkap Aulia.

Di kalangan masyarakat Aceh, mahar disebut jeulame yang dianggap sebagai penghargaan untuk pengantin perempuan dan sangat menentukan status pengantin di masyarakat. Semakin tinggi nilai mayam yang dikeluarkan, tentunya semakin tinggi strata sosial dan ekonomi pengantin.

Tradisi memberikan mayam yang tinggi kini sudah mulai memudar karena mereka menyadari itu akan menyulitkan calon pengantin laki-laki. Namun, kalangan keluarga keturunan darah biru Aceh masih mempertahankan tradisi mayam yang tinggi.

Mayam dalam proses pengikatan hubungan laki-laki dan perempuan di Aceh menjadi wajib hukumnya. Mayam menjadi sebuah simbol kehormatan dan muruah pihak keluarga laki-laki maupun perempuan. Nilai mayam sejatinya ditentukan keluarga pengantin perempuan.

“Mahar pernikahan di Aceh berbentuk emas murni, jumlah emas yang diberikan berkisar antara 11 mayam, 15 mayam, 17 mayam, 20 mayam bahkan hingga 40 mayam. Nah, jika keluarga perempuan tidak menyukai calon pengantin pria, keluarga perempuan akan memberikan mahar hingga 100 mayam, pertanda penolakan,” beber sejarawan Aceh, M Adli Abdullah.

Selain kecantikan, pendidikan, keturunan, dan status ekonomi keluarga perempuan, patokan lain penentuan besarnya mayam ialah mahar mitsil atau standar mahar di keluarga mempelai perempuan.

“Mitsil bisa dilihat dari mayam ibunya. Meskipun perempuan itu tidak cantik, tetapi mahar ibunya tinggi tetap ikut ibunya. Kalau memang tinggi, bisa dilakukan negosiasi dengan menentukan mahar keluarga, kakaknya atau saudara sepupu,” lanjut dosen Hukum Adat dan Islam Universitas Syiah Kuala itu

Proses negosiasi mayam dilakukan dengan dua cara, yaitu ta meutung-tung atau ta meuboh-boh yum. Jika cara tameutung-tung dilakukan, imbuh Adli, mahar tidak lagi dibicarakan.

“Calon suami langsung melihat mahar ibunya atau kakaknya. Ta meuboh-boh yum ada patokan tetap mahar. Jika calon suami membatalkan lamaran, emas itu dianggap hagus, sedangkan jika perempuan yang membatalkan, akan dibayar 2 kali lipat dari pemberian calon suaminya,” jelasnya.

Adli menegaskan, tradisi memberi mayam yang tinggi menyiratkan pesan agar lelaki yang mau menikah haruslah bersungguh-sungguh dalam bekerja sehingga setelah menikah diharapkan mereka dapat memberikan penghidupan yang layak bagi keluarganya.

“Jadi, keliru jika menyebutkan mahar perempuan Aceh itu tinggi. Pasalnya, takaran mahar akan disesuaikan dengan pemberian keluarga perempuan nantinya,” sebut Adli.

Ia mencontohkan, di Kabupaten Pidie, Aceh, permintaan mahar tinggi karena disertai juga dengan hadiah dari keluarga perempuan seperti rumah, misalnya. Kalaupun tidak sanggup, kedua mempelai akan diminta tinggal bersama orangtua keluarga perempuan sampai kelahiran anak pertama. Upaya itu dilakukan agar kedua mempelai tidak merasa susah dalam tahun-tahun pertama pernikahannya.

Untuk kebutuhan sehari-hari selama setahun akan ditanggung boleh dari keluarga perempuan. Namun, penganti laki-laki atau linto baroe memiliki kewajiban membawa pulang daging ketika hari meugang (munggahan).

Menurut Adli, tradisi pemberian mayam telah ada sejak zaman kerajaan Aceh di abad 16-17. Peristiwa itu tertulis dalam peninggalan kitab-kitab tulisan Jawi.

“Jika dibaca dalam catatan orang asing yang pernah singgah di Aceh, diketahui perhiasan orang Aceh dibalut dengan emas. Cupeng itu semacam celana dalam bergembok atau berkunci yang terbuat dari lempengan emas untuk menutup kemaluan perempuan,” pungkasnya (Ferdian)