Zully Terinspirasi Laskar Pelangi

Zully mengajar sambil bermain di luar kelas

“Cerita Laskar Pelangi dan suka travelling menumbuhkan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan di pelosok negeri”

AV – Banda Aceh : Niatnya ketika itu tak bulat untuk ikut seleksi Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) 2016. Mereka yang lulus akan ditempakan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar). Berawal dari ajakan seorang teman dan ditambah sedikit “bumbu” coba-coba, akhirinya ikut serta jua. Hasil yang diperoleh di luar perkiraan dan dugaan. Ia lulus.

“Diajak sama kawan dan dibagi info tentang SM3T. Setelah cari tahu dan dipelajari, akhirnya daftar,” kata Zully Hijah Yanti AD dari Kalimantan Barat ketika berbincang dengan acehvideo.tv, pekan kedua Februari 2017.

Niatnya saat itu tak utuh untuk mengikuti tahapan seleksi. Persiapan yang ia lakukan apa adanya, tak ada persiapan khusus. Tak disangka, kabar baik datang kepada Zully Hijah Yanti AD. Ia dinyatakan lolos menjadi peserta SM3T. Program SM3T cetuskan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan talah berjalan sejak tiga tahun lalu. Terpilih menjadi guru SM3T jadi kebahagian tersendiri dan sekaligus kesempatan emas yang jarang diperoleh untuk mengabdi di negeri pertiwi ini. Setiap individu tentu punya alasan untuk ikut serta, sama hal dengan Zully.

Ia mengugkapkan, cerita di dalam novel Laskar Pelangi- karangan Andrea Hirata-yang mendorong dirinya ikut dan mau mengajar di daerah terluar, terpencil dan tertinggal (3T). Jauh dari ingar-bingar pekotaan. Selain itu, dirinya juga suka jalan-jalan (travelling) ke tempat-tempat yang belum pernah didatangin dan dijamah orang kebanyakkan (hidden paradise).

“Aku terinspirasi dari novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata,” ungkapnya.

Dikatakannya, pesan moral yang ia dapatkan dari cerita laskar pelangi sangatlah besar. Ia percaya mimpi yang sudah dicita-citakan akan tercapai jika tidak mengeluah dan tak putus asa. Begitu juga untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Semangat itu teus ia jaga dan pupuk. Alhasil, memberikan dorongan dan motivasi baginya untuk mengabdi di dearah terpencil, padahal jauh dari kasih sayang kedua orang tua dan keluarga besarnya.

“Di mana pun dan bagaimana pun kondisinya, kita bisa mendapatkan ilmu dan bercita-cita setinggi langit. Karena menjadi pintar ngggak cuma didapat dari sekolah-sekolah berfasilitas lengkap. Oranga-arang di daerah terdepan, terluar dan tertingal (3T) juga pantas mendapatakan pendidikan yang layak,” terangnya semangat.

Perempuan kelahiran Rimo, 12 Mei 1994 ini mengatakan, dirinya sudah sejak lama memiliki keinginan untuk mengajar di daerah terpencil. Namun belum terwujud. Adanya program SM3T dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ini telah meweujudkan niat mulianya untuk memajukan pendidikan di daerah-daerah terluar, tertinggal dan terpencil. Sehingga setiap generasi bisa mendapatkan ilmu.

Ia menambahkan, keikutsertaannya mengikuti seleksi SM3T di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) pertengahan 2016 lalu, lagi-lagi sangat dipengaruhi oleh cerita laskar pelangi yang sudah khatam ia baca. Bahkan, ketika saat tahapan selekasi, alasan “konyol” itu ia utarakan kepada sang pewawancara kala itu.

“Waktu tes wawancara, seleksi SM3T, ketika ditanya apa motivasi (mengikuti SM3T) aku selalu menjawab (karena cerita) laskar pelangi. Pengaruhnya besar banget. 70 persenlah,” imbuhnya.

Menurut Zully, mengabdi di pelosok negeri nun jauh dari perkota bisa menumbuhkan sikap saling menghargai dan nilai kekeluargaan. Ihwal itu, menurutnya sudah mulai luntur dan mulai tergerus di dunia pendidikan yang disebabkan oleh perkembangan zaman, khususnya sekolah di kota. Tak hanya itu, dirinya bisa langsung melihat kondisi pendidikan dan kehidupan bermasyarakat. Nyatanya jauh tertinggal.

“Siswa-siswa di kota saat ini kurang menghargi guru. Jadi aku ingin ke tempat yang rasa kekeluargaannya masih kental,” tuturnya.

Baginya, pendidikan sangatlah penting bagi setiap orang untuk mengubaha nasib dan meraih cita-cita. Pendidikan bukan hanya untuk orang di kota tapi juga orang di pelosok-pelosok. Oleh karenanya, setiap anak bangsa tentu harus merasakan dan mendapatakn pendidikan di bangku sekolah. Kerena dengan memperoleh ilmu pengetahuan akan mengubah nasib seseorang.

“Pendidikan sangat penting. Karena untuk meraih cita-cita, kita harus memiliki ilmu. Untuk menjadi apa pun kita harus memiliki pengetahuan. Kalau kita tidak memiliki pengetahuan, bagaimana kita akan hidup?” ujarnya.

Zully Hijah Yanti AD adalah salah satu Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) 2016. Ia mengabdi dan mengajar di SMP Negeri (SMPN) 4 Satu Atap Kecamatan Salatiga, Kalimantan Barat. (Dok. Pribadi)
Zully Hijah Yanti AD adalah salah satu Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) 2016 di Kecamatan Salatiga, Kalimantan Barat. (Dok. Pribadi)

Sedih Berakhir Senang

Para peserta yang mengikuti program SM3T akan mengabdi setahun penuh di lokasi yang telah ditentukan. Demikian juga Zully. Ia akan mengabdi dan mengajar di SMP Negeri (SMPN) 4 Satu Atap di Desa Sungai Tomab, Kecamatan Salatiga, Kabupaten Samabas, Kalimantan Barat (Kalbar).

Keberangkatan Zully menuju lakosi pengabdian diantar langsung oleh kedua orang tua dan keluarganya dari asrama hingga ke Bandara Udara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang, Aceh Besar. Pesawat yang ia tumpangi berangkat sekira pukul 19.00 WIB. Sebelum meninggalkan bumi serambi mekah, ibunya mendoakan yang terbaik dan berpesan agar ia selalu menjaga dirinya.

“Pulanglah dengan kondisi sama seperti kau berangkat,” ucap Zully perkataan  ibunya.

Pesan sang ibu tetap ia ingat dan pegang teguh. Ketika berpisah dengan keluarganya ia merasa sangat sedih. Saat itu kedua orang tuanya menitikkan air mata, namun tidak dengan Zully. Menurutnya menangi saat berpisah dengan keluarganya pantang ata pamali.

“Sedih jelas. Waktu aku pergi, mamak menangis. Tapi aku nggak menangis sama sekali. Pantang,” katanya.

Dia bercerita, sepekan tiba di Sambas, Kalbar, rasa sedih menghantuinya. Bahkan ia merasa tak percaya sudah berada di negeri orang, yang jauh dari keluarga dan tempat kelahiran. Dalam sepekan itu ia merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya.

“Seminggu pertama rasanya pengen nangis. Rasanya badan nggak terima,” tutur anak dari pasangan H. Adrian dan Hj. Sutiana.

Tak hanya itu, tantangan lain yang harus ia hadapi adalah cuaca yang ekstrim dan menu makan. Selara makannya terus menurun karena menu makanan yang ada tak pas dilidahnya. Salain itu, cuaca yang panas membuat penyakit yang ia idap kambuh.

“Penyakit sinusitisku kumat setelah satu tahun terakhir. Hidung berdarah, karena di sini cuaca panas. Meriang aja bawaannya dan nggak selera makan, kerna makanannya aneh-aneh. Makanya pengen nangis,” pungkasnya tertawa.

Bicara urusan cuci dan kakus, perihal yang satu ini lebih parah lagi. Saban hari ia harus mandi dengan air berwarna hitam, hampir serupa dengan bahan bakar minyak solar. Warga di sana, mau tidak mau harus mengandalkan air sungai untuk kebutuhan itu. Sekelumit kesusahan dan keterbatasan itu ia hadapi dengan tegar dan tetap berusaha untuk menyatu dengan keadaan yang ada.

“Mandi aja pake air hitam. Air sungainya hitam. Cara mengatasinya, mau nggak mau harus mengikuti gimana budaya di sini. Harus membiasakan diri, menyukai makanan dan harus meng-enjoy-kan diri. Lama-lama terbiasa sih,” akunya.

Di sana,  SMP Negeri (SMPN) 4 Satu Atap di Desa Sungai Tomab, Kecamatan Salatiga, Kabupaten Samabas, Kalimantan Barat [Kalbar], Zully didapuk dan dipercaya  memberikan mata pelajaran Bahasa Indonesia kepada siswa di beberapa kelas. Total jumalah siswa hanya 71 orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan.

“Aku mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas tujuh, delapan, sembilan. Menngajar penuh selama lima hari sih. satu hari aja kosong. Guru PNS tiga orang (Kepsek, Wakepsek dan Bendahara), sisanya enam orang guru honor,” sebutnya.

Zully menjelaskan, selain mengajar, ia juga mengamati keadannya masyarakat, pembangunan, tradisi dan kebiasaan warga di sana. Namun ia lebih fokus mengamati dan memperhatikan pendidikan. Ia sangat perihatian melihat keberlangsungan pendidikan anak-anak di sana, khususnya di Desa Sungai Tomab. Karena banyak anak-anak berusia 18 tahun masih duduk di bangku SPM dan banyak dari mereka setelah tamat SMP langsung merantau ke negeri Jiran, Malaysia yntuk bekerja.

“Sedih di sini. (Anak-anak) tamat SMP pada kerja ke Malaysia,” ungkap alumnus Program Studi FKIP Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini. “Padahal pendidikan penting banget. Mau nangis kalau dengar siswa yang nggak mau lanjut sekolah.”

Menurutnya, kendala serta tantangan yang dihadapi untuk membangun pendidikan yang baik di sana murni karena bantuan dan perhatian pemerintah yang minim. Sehingga sekolah-sekolah dan pendidikan di daerah terus tertiggal. Imbasnya akan manambah jumlah butah huruf di Indonesia. Sekolah di sana hanya mengandalkan bantuan Biaya Operasional sekolah (BOS) untuk membangun infrastruktur semampunya.

“Di sini yang diandalkan cuma dana BOS itu. Jadi, mau membangun sekolah yang layak nggak bisa,” pungkasnya.

Beragam keterbatasan saran pendukung di sana membuat Zully tetap semangat dan tak patah arang untuk mengabdi dan memberikan pendidikan. Meski kerap kali situasi itu membuatnya harus kerepotan dan harus berkerja keras. Ia mengakui, rasa kekeluargaan yang dapatkan di sana menjadi obat yang mujarap yang terus membangkitkan semangatnya. Bahkan ia merasa seakan sudah kembali ke kempung halamannya sendiri dan sudah menemuakan keluarganya kembali.

“Di sini warganya (baik) subhanallah. Sampai sekarang belum pernah beli beras. Rasa-rasanya satu kampung pada ngasi beras. Banyak keluarga angkat di sini. Sakarang ngerasa kalau di sini malah lebih enak ketimbang kampung sndri,” katanya berkelakar.

Keseharian Zully dengan beragam aktivitasnya bersama warga di sana telah mengubah kepribadiannya, memberikan pelajaran hidup dan pengalaman berharga yang tak bisa didapatkan jika hidup dikota-kota. Ia menuturkan telah mendaptakan segalanya. Keramahan dan kebaikan masyarakat, nilai adat istiadat, keindahan alam dan rasa kekeluargaan kentara. Ia berharap pemerintah memberikan perhatian serius dan mau mengalokasikan dana untuk kemajuan pendidikan di daerah-daerah terpencil, dan secara umun untuk pendidikan di Indonesia.

“Selama di sini, pengalaman memang benar-benar merubah kepribadianku. Aku menemukan semuanya di sini. Aku makin semangat untuk mengajar, ” tutupnya. (M Ali)