Jelang Kenduri Kebangsaan, Unsyiah Gelar Seminar Keacehan

Akademisi Universitas Syiah Kuala mengisi seminar Keacehan, kearifan masa lalu kejayaan masa depan, di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Sabtu (15/2/2020). Seminar Pre-Event acara Kenduri Kebangsaan digelar untuk memperoleh ide-ide serta masukan yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah untuk membangun Aceh di masa depan. (Foto/Mulyadi)

AV-Banda Aceh: Kemiskinan di Provinsi Aceh menjadi ironi karena Aceh memiliki hasil kekayaan alam melimpah dan tanah yang subur.  Aceh juga pernah berjaya pada masa Kesultanan Iskandar Muda.

Hal tersebut dikatakan Mawardi Umar, Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), pada seminar yang mengangkat tema Keacehan, kearifan masa lalu kejayaan masa depan, yang berlangsung di Aula lantai 3, Gedung FKIP, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Sabtu (15/2/2020).

Seminar diisi oleh para pemateri yang merupakan pakar sejarah dan akademisi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,yaitu DR Qismullah Yusuf, Mawardi Umar MA, DR Syaifullah Muhammad dan DR Alfi Rahman.

Menurut Mawardi Umar, pada abad ke 17, Aceh menjadi kekuatan politik dan ekonomi terkuat di bagian barat Nusantara yang mampu membendung perkembangan kolonial Portugis.  Aceh pernah menjadi salah satu kesultanan Islam yang paling sukses di Nusantara, baik di bidang politik, ekonomi dan intelektual.

“Keungulan yang dimiliki Aceh tersebut pelahan mengalami kemunduran yang diawali masuknya kolonial Belanda hingga terjadi pelawanan puluhan tahun. Hampir seluruh infrastruktur ekonomi hancur dan sosial budaya mengalami kemunduran.

Mawardi menilai, kejayaan masa lalu Aceh tidak terlepas dari kecerdasan rakyat Aceh yang saat itu memanfaatkan keuntungan posisi geografis Aceh sebagai pintu masuk Selat Malaka  yang sangat penting peranananya sebagai jalur pelayaran internasional.

“Aceh saat itu tidak hanya sebagai pusat pemerintah yang kuat, namun juga menjadi pusat perdagangan dan peradaban,” sebut Mawardi.

Staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Syiah Kuala, Qismullah Yusuf menyebutkan, Aceh masa lampau juga telah melakukan hubungan diplomasi dengan negara-negara di Eropa seperti Inggris, Turki dan Belanda.

“Hal ini dibuktikan pada Abad 16-17, Kesultanan Aceh mengirim empat orang utusannya ke Belanda yang dipimpin Tuanku Abdul Hamid untuk mengakui kedaulatan Belanda setelah bebas dari Spanyol. Akhirnya, pada 10 Agustus 1602, Tuanku Abdul Hamidi meninggal di Amsterdam,” sebut Qismullah Yusuf.

Disisi lain, kekayaan alam Aceh seperti pala, cengkeh, kopi gayo dan nilam juga salah satu komoditi yang berpeluang mengembalikan Aceh pada kejayaan di masa mendatang seperti di masa kesulatanan Aceh lampau.

“Nilam salah satu komoditi unggul yang dapat diolah seperti minyak wangi yang dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi untuk di ekspor,”  kata Syaifullah Muhammad, Kepala Pusat Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala.

Sementara itu, Peneliti Tsunami Mitigation Reserch Center (TDMRC)  Universitas Syiah Kuala, Alfi Rahman menyebutkan, keruntuhan kejayaan Aceh, selain akibat masuknya kolonialisme Belanda, juga jarena faktor bencana alam gempa dan tsunami.

Hasil penelitian di gua Ek Leuntie, Aceh Besar peneliti menemukan tsunami 26 Desember 2004 silam, bukan yang pertama kalinya terjadi di Aceh. Namun, tsunami pernah terjadi di Aceh ratusan tahun sebelumnya.   Seperti di Kepulauan Simeulue, pengetahuan masyarakat lokal menyebutkan dengan istilah Smong.

“Kisah Smong salah satu budaya lokal masyarakat Simeulue yang disebut nafi-nafi atau cerita tutur tentang kisah masa lalu yang masih dilestarikan,” jelas Alfi.

Seminar yang digagas Universitas Syiah Kuala bersama Yayasan Sukma Bangsa dan Forum bersama (Forbes) DPR dan DPD RI perwakilan Aceh diharapkan dapat membangkitkan kejayaan Aceh masa lampau.

Seminar Pre-Event acara Kenduri Kebangsaan yang akan berlangsung di Kabupaten Bireuen pada 22 Februari mendatang, akan dihadiri Presiden RI Joko Widodo. Seminar digelar untuk memperoleh ide-ide serta masukan yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah untuk membangun Aceh di masa depan. (Mul)